Kamis, 31 Maret 2011
Avatar
Legend of the Aang (di AS namanya Avatar: The Last Bender) merupakan salah satu film kartun yang paling banyak peminatnya, bukan saja di Indonesia namun juga di negara-negara lain. Dari anak-anak yang jika bicara saja masih susah, sampai bapak-bapak yang beberapa rambutnya sudah mulai memutih. Hanya saja, saya belum pernah mendengar ada kakek-kakek yang suka nonton Avatar.
Dilihat dari serial film kartun Avatar banyak mengadopsi seni budaya, adat istiadat, dan mitologi dari benua Asia dalam penciptaan fiksinya. Avatar juga mencampur filosofi, bahasa, agama, seni bela diri, pakaian, dan budaya dari negara-negara Asia seperti Cina, Jepang, Mongolia, Korea, India, dan Tibet. Hal ini bisa dimungkinkan sebab kru dari film seri Avatar sendiri mempekerjakan konsultan budaya, Edwin Zane, untuk memeriksa naskah cerita.
Secara etimologi, istilah Avatar berasal dari bahasa Sansekerta (Avatāra) yang secara harfiah berarti “turun”, atau dalam pengertian luas berarti “Datangnya Ratu Adil”, seperti halnya Maranatha dalam paham Katolik. Dalam mitologi Hindu, para dewa memanifestasikan dirinya sebagai manusia super dengan turun menjelma ke dunia untuk mengembalikan keseimbangan di muka bumi, setelah mengalami zaman kejahatan yang teramat sangat. Penjelmaan dewa inilah, sang penyelamat terakhir, yang disebut sebagai Sang Avatar.
Dari sekian buku Avatar yang saya koleksi termasuk sebagian games dan filmya, lambat laun saya menemukan misi tersembunyi dari serial kartun Avatar, hal ini bisa benar dan bisa pula tidak. Namun mengingat Avatar termasuk dalam film kartun jaringan Holywood (Nickelodeon), agaknya memang perlu dikritisi lebih lanjut. Sebab, film-film produksi Hollywood memang tidak pernah bebas nilai, selalu saja mengandung isme-isme yang aneh. Tentang bahaya atau tidaknya serial Avatar memang perlu penelusuran yang lebih serius.
Ketika Aang masih kecil, ia tidak tahu bahwa ia sebenarnya seorang Avatar ketika ia memilih empat mainan tertentu di antara ribuan mainan lainnya. Empat mainan tersebut adalah: seruling kura-kura dari tanah liat (Air), baling-baling yang digerakkan dengan benang (Udara), babi-monyet dari kayu (Tanah), dan genderang tangan dari kayu (Api). Keempat mainan tersebut merupakan mainan yang sama dengan yang dipilih Avatar dari generasi sebelumnya ketika masih anak-anak. Ini merupakan prosedur yang sama dengan yang dilakukan oleh anak-anak Buddha di Tibet untuk menguji apakah ia merupakan reinkarnasi Tulku Lama. Menurut buku “Keajaiban dan Misteri di Tibet” karya Alexandra David-Néel, “beberapa benda seperti misalnya jimat, peralatan upacara, buku, cangkir teh, dan lain-lain ditaruh bersama-sama, dan sang anak akan mengambil benda-benda, yang merupakan kepunyaan Tulku terdahulu, dan hal tersebut menunjukkan bahwa ia mengenali ingatannya pada kehidupannya yang terdahulu”.
Si Aang hidup di kuil udara selatan, di bawah asuhan Rahib Gyatso. Hidupnya berubah setelah ia mengetahui bahwa dirinya adalah seorang Avatar yang harus mempelajari empat elemen dan membawa kedamaian di dunia. Biasanya seorang anak diberitahu bahwa ia adalah seorang Avatar ketika berusia 16 tahun, namun para rabib khawatir bahwa perang sudah di ambang pintu sehingga kehadiran Avatar dibutuhkan secepatnya untuk mengembalikan keseimbangan dunia.
Rahib Gyatso, yang mengasuh dan mendidik Aang, menginginkan agar Aang tumbuh seperti anak biasa, namun rahib lainnya tidak setuju. Mereka ingin mengirim Aang ke kuil udara timur untuk mendalami ilmu sebagai seorang Avatar. Aang yang tidak siap menerima kenyataan, kabur dari rumahnya menuju kutub selatan. Ia mengendarai banteng terbangnya yang bernama Appa. Di tengah perjalanan, mereka diserang badai. Aang kemudian berada dalam “keadaan Avatar”. Dengan kemampuannya mengendalikan udara, Aang membungkus dirinya bersama Appa dengan sebuah gelembung udara yang kemudian membeku menjadi bongkahan es selama seratus tahun.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar